Jujur, yuk! Siapa di antara kita, yang pelafalan bahasa Inggrisnya pernah dikomentari negatif oleh orang lain, dan siapa yang pernah mengomentari pelafalan orang lain secara negatif?

Ya, nggak cuma sekali-dua kali pelafalan bahasa Inggrisku dikomentari, dikoreksi, bahkan ditertawai oleh orang lain. Uniknya, hanya satu dari semua yang mengomentari, mengoreksi, bahkan menertawai pelafalanku yang berbahasa ibu bahasa Inggris.

Sayangnya, tidak sedikit dari kita yang kemudian merasa malu dan memilih untuk tidak lagi menggunakan bahasa Inggris kalau belum terpaksa. Ini reaksi yang wajar, meski akan merugikan diri kita sendiri dalam jangka panjang.

Sebagai seorang guru bahasa Indonesia bagi penutur asing, dan sebagai seorang yang pernah mempelajari beberapa bahasa asing, aku ingin membagikan pengalaman dan pengetahuanku tentang pelafalan. Harapanku, seusai membaca tulisan ini, kita bisa menyadari bahwa ketidaksempurnaan pelafalan bukanlah sesuatu yang tabu, bahwa komentar negatif sama sekali tidak membantu, dan bahwa kesempurnaan pelafalan akan memudahkan keseluruhan proses mempelajari bahasa asing.

Alasan Sulitnya Pelafalan yang Sempurna

Kadang, kita mungkin merasa iri ketika mendengar teman kita berbicara bahasa Inggris dengan begitu lancarnya. Apalagi kalau kita mendengarkannya sambil memejamkan mata, dan teman kita itu tadi bahkan tidak terdengar seperti orang Indonesia. Kenapa ya, kita nggak bisa kayak gitu?

1. Bunyi yang Bukan Bunyi Asli Bahasa Ibu Kita

Bahasa adalah sistem bunyi, yang oleh penuturnya, bunyi-bunyi itu dirangkai menjadi kata dan kemudian disemati makna yang disepakati bersama. Setiap bahasa memiliki sejumlah bunyi; sebagian dari bunyi-bunyi itu mungkin bisa ditemukan dalam bahasa lain, sebagian lagi merupakan bunyi unik dari bahasa tersebut.

Bunyi-bunyi dari bahasa Inggris yang mirip atau sama dengan bunyi-bunyi dalam bahasa Indonesia tentunya akan terasa mudah dilafalkan. Sementara itu, bunyi-bunyi yang tidak ada dalam bahasa Indonesia, akan terasa agak sulit.

Contoh mudahnya sebenarnya ada di kampung halaman kita sendiri. Saudara-saudara kita yang berbahasa ibu bahasa Sunda, Jawa, atau Bali, tidak mengenal bunyi ‘f’ dan ‘v’. Bunyi yang ada dalam bahasa Sunda, Jawa, dan Bali terwakili oleh aksara mereka Ha-Na-Ca-Ra-Ka.

Ketika mereka harus membunyikan ‘f’ dan ‘v’, secara bawah sadar mereka akan membunyikan bunyi terdekat yang ada dalam bahasa ibu mereka, ‘p’. Itulah sebabnya kita sering mendengar ‘Paris Pan Japa’, ‘pespa’, ‘farpum’, dan masih banyak lagi.

Kita sendiri, yang merasa bahasa Indonesia adalah bahasa ibu kita, masih tidak bisa membedakan bunyi ‘f’ dan ‘v’. Ketidakmampuan inilah yang menyebabkan sebagian dari kita tidak merasa keliru ketika menulis ‘aktifitas’ meski tidak baku, karena bunyinya sama dengan bentuk bakunya, ‘aktivitas’.

Dampaknya terhadap pelafalan bahasa Inggris kita sangat jelas. Ketika ada bunyi bahasa Inggris yang tidak ada dalam bahasa Indonesia, kita akan menggantinya secara bawah sadar dengan bunyi terdekat. Kita akan melafalkan ‘no’ apa adanya, ‘no’, meski bunyi aslinya adalau ‘nou’. ‘The’ akan menjadi ‘de’, karena bunyi ‘th’ tidak ada dalam bahasa Indonesia. Demikian seterusnya.

2. Otot yang Belum Terlatih

Dalam melafalkan bunyi bahasa, kita menggunakan organ artikulasi yang terdiri dari rongga mulut, lidah, bibir, gigi, dan pangkal tenggorok. Selain rongga mulut dan gigi yang praktis tidak bergerak, organ artikulasi kita memiliki otot yang mengendalikan gerakannya.

Mungkin sebagian dari kita masih ingat, waktu kecil dulu, kita kesulitan melafalkan bunyi ‘r’. Kita mengatasinya dengan melafalkan bunyi terdekat, entah itu ‘l’ (jeluk), ‘y’ (jeyuk), atau ‘w’ (jewuk). Seiring berjalannya waktu, dan berkat tekanan dari orang di sekitar kita, pada akhirnya kita bisa melafalkan bunyi ‘r’ dengan baik.

Keberhasilan kita menggetarkan lidah untuk memproduksi bunyi ‘r’ ini dicapai dengan terus menerus melatih otot lidah kita. Ada yang berhasil hanya dalam hitungan jam, hari, atau minggu, tetapi tidak sedikit yang baru bisa setelah berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun. Ada juga yang karena kondisi fisiologis organ artikulasinya tetap tidak mampu meski sudah berlatih seumur hidup.

Karena ada bunyi-bunyi yang bukan bunyi asli bahasa kita, sudah tentu otot organ artikulasi kita belum terlatih untuk membunyikannya. Tidak heran bila pelafalan kita akan keliru, terdengar medhok, atau bahkan jauh dari bunyi yang semestinya.

Sayangnya, ketika ini terjadi, dan ada yang mengomentari secara negatif, kita cenderung berhenti mencoba dan berlatih. Rasa malu dikomentari atau dikoreksi di depan umum membuat kita memilih untuk tidak berlatih.

Jangan berhenti berlatih meskipun ada yang mengomentari bahasa Inggrismu secara negatif.
Jangan berhenti berlatih meskipun ada yang mengomentari bahasa Inggrismu secara negatif!

Nah, dua alasan di atas adalah alasan paling mendasar yang menyebabkan kita mengalami kesulitan dalam melafalkan bunyi dalam bahasa Inggris, atau bahasa asing lainnya. Tidak ada cara yang manjur untuk mengatasinya selain terus melatih otot kita.

Pesan untuk kita yang mudah mengomentari atau mengoreksi pelafalan orang lain, dariku yang juga pernah melakukannya, adalah, “Urungkan niatmu. Biarkan. Jangan menjadi penghalang kemajuan orang.”

Pesan bagi yang kita yang dikomentari, singkat saja, “Anggap anjing menggonggong.” Terus berlatih, jangan menyerah.

Haruskah Kita Melafalkan Bahasa Inggris dengan Sempurna?

Sebenarnya, ini bukan perkara harus tidak harus atau sempurna tidak sempurna.

Jadi, begini: dalam bahasa apa pun, tidak ada yang namanya pelafalan yang sempurna. Lihat saja bahasa Inggris. Setiap negara yang berbahasa Inggris memiliki pelafalan yang berbeda satu dengan yang lainnya. Di Inggris sendiri, pelafalannya bisa sangat berbeda dari satu daerah ke daerah lainnya. Ada banyak variasi pelafalannya.

Nah, di sisi lain, otak kita memiliki cara kerja yang unik. Apabila kita melafalkan suatu bunyi atau suatu kata, otak kita akan merekam bunyi tersebut sebagai bunyi standar atau bunyi yang akan digunakan sebagai rujukan. Nanti, ketika kita mendengar suatu bunyi yang dilafalkan orang lain, otak kita akan mencari bunyi terdekat yang pernah direkamnya.

Permasalahannya adalah ketika kita merekam bunyi yang keliru. Ketika orang lain atau penutur aslinya melafalkan kata tersebut, kita bisa jadi tidak akan mengenalinya karena otak kita tidak menemukan bunyi terdekatnya.

Ah, yang penting kan mereka ngerti maksud kita apa!

Betul, penutur asli memiliki toleransi atas variasi pelafalan yang cukup luas. Orang Jogja, misalnya, akan langsung mengerti ketika ada yang bertanya, “Bakpia Patok yang enak yang merek apa, ya?” Namun, sebaliknya, ketika orang Jogja menjawab, “Asal belinya di Pathuk, rasanya sama saja,” kita tidak menyadari bahwa ‘patok’ kita dan ‘pathuk’ mereka adalah kata yang sama.

Meski, tentu saja, akan ada situasi-situasi yang canggung ketika kekeliruan pelafalan kita fatal, yang bisa ditangkap sebagai kata yang sama sekali berbeda. Misalnya, kita ingin bertanya apakah mereka suka Pantai Kuta, tapi kita tidak melafalkan beach dengan vokal panjang. Bisa jadi mereka akan menangkap pesan yang berbeda.

Ya, kita tidak perlu memaksakan diri untuk terdengar persis sama dengan penutur asli. Otot mereka terlatih sejak lahir, sudah sewajarnya kita akan tertinggal dan tidak terdengar seperti native speaker. Ini tidak berarti kita lantas mengabaikan melatih pelafalan sama sekali.

Semakin pelafalan kita mendekati pelafalan yang baik dan benar, semakin mudah bagi kita untuk menangkap kata-kata yang penutur asli ucapkan, termasuk variasinya. Dengan begitu, kita pun semakin nyaman dan mudah mengembangkan bahasa Inggris kita.

Meskipun demikian, jangan patah semangat dulu kalau kita masih mengalami kesulitan dalam pelafalan. Nggak pa-pa kalau masih medhok. Terus berlatih, jangan cepat menyerah.

Ubud, 8 September 2022