Hari ini tidak seperti biasanya. Aku menangkap kegelisahan pada raut dan gerak-gerik beberapa penghuni. Bu Gondo dan Bu Laksmi sedang berbisik-bisik di sudut sana; wajah mereka tampak tegang, seakan sedang membincangkan sesuatu yang luar biasa penting.

Sementara di sudut yang lain, Pak Rustam, yang dituakan di kompleks ini, hanya termangu sambil mengisap rokoknya. Matanya kosong; tak lagi ada asa di sana. Koh Lim berjalan mondar-mandir, menggumamkan sesuatu yang tak jelas, sambil terus menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Sepertinya, ada yang serius, Pak?” tanyaku pada Pak Rustam. Ia menatapku, berdecak, lalu menghela napas panjang. Disorongkannya bungkus rokok kreteknya ke arahku; kuambil sebatang, demi sopan santun.

“Nak Hamid belum dengar?” tanyanya setelah aku duduk di sampingnya dan mulai mengembuskan asap.

“Belum, Pak. Ada apa?”

“Kita diberi waktu empat bulan untuk pindah. Kompleks ini akan digusur.”

“Pindah? Empat bulan? Digusur?” bertubi-tubi pertanyaanku.

“Iya, Nak. Nak Hamid tahu, kan, apartemen besar yang sedang dibangun di sebelah sana? Kompleks kita ini akan diratakan untuk jalan masuk ke sana.”

Aku terhenyak. Beginikah nasib orang-orang kecil seperti kami?

***

Kegelisahan di kompleks kami berangsur-angsur berubah menjadi kegusaran. Tiga ribu lima ratusan penghuni harus angkat kaki dari kompleks ini, demi orang-orang berduit itu. Tapi, lagi-lagi, kami tak punya suara. Tak pernah punya suara.

“Lho, Bu Sumiati mau ke mana? Kan nggak kena gusur?” tanya seorang ibu yang tak kukenal ketika melihat Bu Sum lewat membawa barang-barang. Ibu Sumiati berhenti, meletakkan bawaannya, lalu menjawab sambil tersenyum – tenang dan bijak.

“Nggak kena gusur, kan, sekarang, Mpok. Daripada tiap hari kepikiran kapan kenanya, mending dari sekarang aja.”

“Sudah tahu mau pindah ke mana?”

“Belum. Siap-siap aja dulu. Anak saya lagi nyariin tempat.”

Satu per satu penghuni kompleks kami mulai meninggalkan tempat ini. Koh Lim sudah pergi minggu lalu, dijemput keluarga besarnya yang juga mengadakan syukuran besar-besaran. Beberapa pergi tanpa sempat berpamitan; mungkin begitu sanak saudara mereka mendengar kabar tentang penggusuran ini, mereka langsung dipindahkan entah ke mana.

Aku mendapati Pak Rustam tengah menyesap kopinya, ditemani kepulan-kepulan asap.

“Kelihatannya Bapak sudah siap pindah,” kataku membuka percakapan. Pak Rustam tersenyum; senyumnya mengiris hati siapa pun yang melihatnya – penuh duka, penuh luka.

“Saya pasrah, Nak Hamid. Saya sudah nggak ada keluarga yang bisa bantu saya cari tempat baru. Saya nunggu aja, siapa tahu developer itu punya alternatif tempat untuk saya.”

Aku menyesal menanyainya. Aku merasa bersalah.

“Nak Hamid sendiri bagaimana? Sudah tahu mau pindah ke mana?”

“Tempatnya, sih, saya belum tahu, Pak. Semua sudah diatur oleh adik saya. Saya tinggal menunggu dia datang dan mengantar saya ke sana.”

“Alhamdulillah, Nak, kalau begitu. Semoga betah ya, di tempat yang baru,” ujarnya, lalu Pak Rustam menenggak habis kopinya dan pergi.

Aku merasa bersalah.

***

Suasana kompleks ini sekarang menjadi sangat canggung.

Suasana kompleks ini sekarang menjadi sangat canggung. Orang-orang tak lagi saling sapa – semuanya sibuk sendiri. Padahal sebenarnya semua yang tinggal di sini tidak punya banyak barang yang perlu dikemasi. Tak perlu lebih dari setengah jam untuk menyiapkan diri.

Semuanya berlagak sibuk, menghindari percakapan-percakapan yang hanya membuat kami menjadi lebih tidak nyaman lagi.

Aku hanya terdiam di tempatku, mengamati.

***

Hari ini, 15 Februari 2009, giliran makamku yang dibongkar. Tulang belulangku dibungkus ulang dengan kafan yang baru. Adikku, dengan berlinangan air mata, menyaksikan seluruh prosesnya. Ia siap membawaku ke tempat yang baru.

Kelak, TPU Menteng Pulo ini hanya akan dikenal oleh para penghuni Apartemen Taman Rasuna sebagai jalan masuk ke pemukiman mewah mereka.

Ubud, 2013

Catatan Penulis: Cerita kilat ini ditulis sebagai respon atas berita penggusuran ini.